Robert T. Craig membagi
dunia komunikasi dalam 7 tradisi pemikiran. Tujuh tradisi pemikiran
dalam dunia komunikasi ini dikenal sebagai model Robert T. Craig, yang
dipuji banyak pihak karena mampu menawarkan cara melihat dan
merefleksikan kajian komunikasi dalam cara yang lebih holistik.
Metamodel (model dari model-model) yang dikembangkan oleh Craig ini
memberikan bentuk yang sesuai dan dapat membantu mendefenisikan
permasalahan-permasalahan dan pembahasan tentang asumsi yang menentukan
pendekatan-pendekatan terhadap berbagai teori. Kita harus jujur
mengakui, metamodel yang dikembangkan Craig memberikan sistem andal
untuk menyusun teori-teori komunikasi terbarui.
Secara
garis besar, Craig membagi dunia komunikasi dalam 7 tradisi pemikiran
yaitu: semiotik, fenomenologis, sibernetika, sosiopsikologis,
sosiokultural, kritis dan retoris. Adapun berbagai tradisi teori
komunikasi tersebut secara lebih detail dijelaskan sebagai berikut.
1. Tradisi Semiotik
2. Tradisi Fenomenologis
3. Tradisi Sibernetika
4. Tradisi Sosiopsikologis
5. Tradisi Sosiokultural
6. Tradisi Kritik
7. Tradisi Retorika
Adapun makna-makna dari tradisi tersebut adalah :
1. Tradisi Semiotik
2. Tradisi Fenomenologis
3. Tradisi Sibernetika
4. Tradisi Sosiopsikologis
5. Tradisi Sosiokultural
6. Tradisi Kritik
7. Tradisi Retorika
Adapun makna-makna dari tradisi tersebut adalah :
Pertama, Tradisi Semiotik
Konsep
dasar pertama yang menyatukan tradisi ini adalah tanda yang
diidentifikasikan sebagai stimulus yang menandakan atau menunjukkan
beberapa kondisi lain, seperti ketika asap menandakan adanya api. Konsep
dasar kedua adalah simbol yang menandakan tanda yang kompleks dengan
banyak arti, termasuk arti yang sangat khusus.
Sejumlah
ahli komunikasi memberikan perbedaan kuat antara tanda dan simbol.
Perbedaannya yakni, tanda memiliki referensi yang jelas terhadap
sesuatu, sedangkan simbol tidak berlaku demikian. Sedangkan para ahli
komunikasi lain melihatnya sebagai tingkat-tingkat istilah yang berbeda
dalam kategori yang sama. Dengan perhatian pada tanda dan simbol
semiotik menyatukan kumpulan teori-teori yang sangat luas yang berkaitan
dengan bahasa, wacana dan tindakan-tindakan nonverbal.
Tradisi
semiotik terkonstruksi dari 3 wilayah kajian yaitu: semantik, sintaktik
dan pragmatik. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
Semantik,
berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang
ditunjukkannya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Di mana
semantik mengilustrasikan dua dunia sekaligus, yakni dunia benda dan
dunia tanda serta mencerahkan hubungan antara dua dunia tersebut.
Kapanpun kita memberikan sebuah pernyataan, apa yang direpresentasikan
oleh tanda, maka kita berada dalam ranah semantik. Contoh sederhana,
kamus merupakan buku referensi semantik yang mengatakan apakah arti kata
atau apa yang mereka representasikan. Sebagai prinsip dasar semantik,
representasi selalu dimediasi oleh interpretasi sadar seseorang dan
interpretasi atau arti apa pun bagi sebuah tanda akan mengubah satu
situasi ke situasi lainnya.
Sintaktik,
kajian hubungan di antara tanda-tanda. Tanda-tanda sebetulnya, tidak
pernah berdiri sendiri. Hampir semuanya selalu menjadi bagian dari
sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang diatur dalam
cara-cara tertentu. Karenanya, sintaktik selalu mengacu pada
aturan-aturan yang dengannya orang mengombinasikan tanda-tanda dalam
sistem makna yang kompleks. Semiotik tetap mengacu pada prinsip bahwa
tanda-tanda selalu dipahami dalam kaitannya dengan tanda-tanda lain.
Tentunya, kamus bukan sekadar katalog hubungan antara satu tanda dengan
tanda lainnya (satu kata didefinisikan dengan kata-kata lain).
Ketika
kita bergerak dari satu kata menuju sebuah kalimat, kita berhubungan
dengan sintaksis atau struktur bahasa. Isyarat-isyarat selalu
dikombinasikan dengan isyarat-isyarat lainnya untuk membentuk sistem
kompleks tanda-tanda nonverbal dan tanda-tanda nonverbal dipasangkan
dengan bahasa untuk mengekspresikan arti-arti yang halus dan kompleks.
Peraturan sintaktik mempermudah manusia menggunakan kombinasi
tanda-tanda yang tidak terbatas untuk mengekspresikan kekayaan makna.
Pragmatik,
mengkaji bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan
manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda
pada kehidupan sosial. Cabang semiotik ini memiliki pengaruh yang
paling penting dalam teori komunikasi karena tanda-tanda dan sistem
tanda dilihat sebagai alat komunikasi umat manusia. Karenanya, pragmatik
saling melengkapi dengan tradisi sosial budaya. Dari perspektif
semiotik, kita harus memiliki pemahaman bersama bukan hanya pada
kata-kata, tapi juga pada struktur bahasa, masyarakat dan budaya agar
komunikasi dapat mengambil perannya.
Tanda
nonlinguistik menciptakan permasalahan pragmatik khusus dan nonverbal
juga telah menarik minat para peneliti komunikasi. Contohnya, kode-kode
visual lebih terbuka dalam makna potensialnya, interpretasinya sangat
subjektif serta lebih dihubungkan dengan persepsual internal dan
proses-proses pemikiran penonton daripada representasi konvensional. Hal
ini mesti dikatakan bahwa makna seseorang untuk sebuah gambar
benar-benar individualis, tentunya makna-makna visual dapat dipengaruhi
oleh pembelajaran, budaya dan bentuk-bentuk interaksi sosial lain.
Namun
melihat gambaran visual tidaklah sama dengan memahami bahasa. Gambar
memerlukan pengenalan bentuk, organisasi, dan diskriminasi, bukan hanya
hubungan-hubungan representatif. Karenanya, makna gambaran visual sangat
bergantung pada persepsi serta pengetahuan individu dan sosial.
Pembagian
sintaktik, semantik dan pragmatik digunakan secara luas untuk mengelola
kajian semantik. Namun tidak semua orang setuju bahwa hal ini merupakan
cara yang paling bermanfaat. Donald Ellis menegaskan, semantik bukanlah
cabang yang terpisah, tapi lebih tampak sebagai batang yang menopang
keseluruhan pohon. Baginya, makna bukan sekadar permasalahan lexical semiotics atau makna kata-kata, melainkan juga termasuk structural semantics, atau makna struktur-struktur bahasa.
Kedua, Tradisi Fenomenologis
Teori
ini mengasumsikan bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi
pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman
pribadinya. Tradisi ini memperhatikan pada pengalaman sadar seseorang.
Proses mengetahui dengan pengalaman langsung merupakan wilayah kajian
fenomenologis. Jika semiotik cenderung memperhatikan tanda dan
fungsinya, maka fenomenologis lebih melihat pada sosok penafsir sebagai
komponen utama dalam proses komunikasi.
Fenomenologis
merupakan cara yang digunakan umat manusia untuk memahami dunia melalui
pengalaman langsung. Pakar tradisi fenomenologis Maurice Merleau-Ponty,
menyatakan semua pengetahuan akan dunia, bahkan pengetahuan ilmiahnya,
diperoleh dari beberapa pengalaman akan dunia. Dengan begitu,
fenomenologis membuat pengalaman nyata sebagai data pokok sebuah
realitas. Menurut Stanley Deetz, menyimpulkan ada 3 prinsip dasar
fenomenologis.
Pertama,
pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan
mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengannya. Kedua, makna benda
terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Dengan lain kata,
bagaimana Anda berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi Anda.
Contoh kecil, Anda ingin mengambil kajian teori komunikasi dengan serius
sebagai pengalaman di bidang pendidikan ketika Anda mengalaminya
sebagai sesuatu yang akan memberikan pengaruh positif pada kehidupan
Anda.
Asumsi
ketiga, bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui
bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia
itu. Kita mengetahui kunci karena bahasa yang kita hubungkan dengannya:
“menutup”, “membuka”, “besi”, “berat”, dsb.
Proses interpretasi penting bagi kebanyakan pemikiran fenomenologis. Dalam bahasa Jerman, interpretasi sepadan dengan kata verstchen
(pemahaman), merupakan proses menemukan makna dengan pengalaman. Dalam
tradisi semiotik, interpretasi terpisah dari realitas , tetapi dalam
fenomenologis, interpretasi biasanya membentuk apa yang nyata bagi
seseorang. Anda tidak dapat memisahkan interpretasi dari realitas.
Interpretasi
merupakan proses aktif pikiran dan tindakan kreatif dalam
mengklarifikasi pengalaman pribadi. Interpretasi melibatkan maju mundur
antara mengalami suatu kejadian atau situasi dan menentukan maknanya,
bergerak dari yang khusus ke umum dan kembali lagi ke yang khusus. Hal
ini dikenal sebagai hermeneutic circle.
Ada
tiga kajian pemikiran umum yang membuat beberapa tradisi fenomenologis,
yaitu: fenomenologi klasik, fenomenologi persepsi dan fenomenologi
hermeneutik. Fenomenologi klasik, kebenaran dapat diyakinkan melalui
kesadaran yang terfokus. Menurut Edmund Husserl yang terkenal sebagai
pendiri fenomenologi modern, menyatakan kebenaran dapat diyakinkan
melalaui pengalaman langsung dengan catatan kita harus disiplin dalam
mengalami segala sesuatu.
Hanya
melalui perhatian sadar, kebenaran dapat diketahui. Agar dapat mencapai
kebenaran melalui perhatian sadar, bagaimanapun juga, kita harus
mengesampingkan atau mengurungkan kebiasaan kita. Kita harus
menyingkirkan kategori-kategori pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan dalam
melihat segala sesuatu agar dapat mengalami sesuatu dengan
sebenar-benarnya. Dalam hal ini, benda-benda di dunia menghadirkan
dirinya pada kesadaran kita. Pendekatan Husserl dalam fenomenologis
sangat objektif, dunia dapat dialami tanpa harus membawa kategori
pribadi seseorang agar terpusat pada proses.
Fenomenologi
persepsi, merupakan sebuah reaksi yang menentang objektivitas sempit
milik Husserl di atas. Di mana pencetus teori ini adalah Maurice Merleau
Ponty, menyatakan bahwa pengalaman itu subjektif, bukan objektif dan
percaya bahwa subjektivitas merupakan bentuk penting sebuah pengetahuan.
Baginya, manusia merupakan sosok gabungan antara fisik dan mental yang
menciptakan makna di dunia ini.
Kita
mengetahui sesuatu hanya melalui hubungan pribadi kita dengan benda
tersebut. Sebagai manusia, kita terpengaruh oleh dunia, namun kita juga
mempengaruhi dunia dengan bagaimana kita mengalaminya. Bagi Ponty,
segala sesuatu tidak ada dengan sendirinya dan terpisah dari bagaimana
semuanya diketahui. Manusia memberikan makna pada benda-benda di dunia,
sehingga pengalaman fenomenologis apapun tentunya subjektif. Jadi,
terdapat dialog antara manusia seebagai penafsir dan benda yang mereka
tafsirkan.
Fenomenomenologi
hermeneutik, memiliki kemiripan prinsip dengan fenomenologi persepsi,
namun tradisinya lebih luas dalam bentuk penerapan yang lebih lengkap
pada komunikasi. Tokohnya adalah Martin Heidegger, filosofinya yang
terkenal adalah Hermeneutic of Dasein, artinya interpretasi
keberadaan. Hal paling penting menurutnya adalah, pengalaman alami yang
tidak terelekkan terjadi dengan hanya tinggal di dunia. Baginya,
realitas sesuatu tidak diketahui dengan analisis yang cermat atau
pengurangan, melainkan oleh pengalaman alami yang diciptakan oleh
penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sesuatu yang nyata adalah
apa yang dialami melalui penggunaan bahasa dalam konteksnya: “kata-kata
dan bahasa bukanlah bungkusan yang di dalamnya segala sesuatu
dimasukkan demi keuntungan bagi yang menulis dan berbicara. Tapi dalam
kata dan bahasa, segala sesuatunya ada.
Tradisi
fenomeomenologi ini dianggap mayoritas ahli komunikasi, sebagai sesuatu
yang naif. Sebab, kehidupan dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang
kompleks dan saling berhubungan, hanya beberapa di antaranya saja yang
dapat diketahui dengan sadar pada waktu tertentu. Kita tidak dapat
menginterpretasikan sesuatu dengan sadar hanya dengan melihat dan
memikirkannya. Pemahaman yang sesungguhnya datang dari analisis yang
cermat terhadap sistem efek.
Ketiga, Tradisi Sibernetika
Merupakan
tradisi sistem-sistem kompleks yang di dalamnya banyak orang saling
berinteraksi, memengaruhi satu sama lainnya. Perspektif sibernetika
dibutuhkan dalam memahami kedalaman dan kompleksitas dinamika dalam
berkomunikasi, misalkan memahami pola hubungan berinteraksi dalam sebuah
keluarga.
Dalam
teori sibernetika menjelaskan bagaimana proses fisik, biologis, sosial
dan perilaku bekerja. Dalam sibernetika, komunikasi dipahami sebagai
sistem bagian-bagian atau variabel-variabel yang saling memengaruhi satu
sama lainnya, membentuk, serta mengontrol karakter keseluruhan sistem
dan layaknya organisme, menerima keseimbangan dan perubahan.
Ide
sistem inilah yang membentuk inti pemikiran Sibernetika. Sistem
merupakan seperangkat komponen-komponen yang saling berinteraksi, yang
bersama membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar sejumlah
bagian-bagian. Bagian apapun dari sebuah sistem selalu dipaksa oleh
ketergantungan bagian-bagian lainnya dan bentuk saling ketergantungan
inilah yang mengatur sistem itu sendiri. Namun sistem tidak akan
bertahan taanpa mendatangkan asupan-asupan baru dalam bentuk input. Karenanya, sebuah sistem mendapatkan input dari lingkungan, memproses dan menciptakan timbal balik berupa hasil kepada lingkungan. Input dan output
terkadang berupa materi-materi nyata atau berupa energi dan informasi.
Karena sifat ketergatungan inilah yang kemudian sistem memiliki ciri
khas berupa regulasi, diri dan kontrol. Dengan lain kata, monitor
sistem, mengatur dan mengontrol keluaran mereka agar stabil serta
mencapai tujuan.
Termostat (alat pengukur/pengimbang panas) dan alat pemanas (heater)
merupakan contoh sederhana kontrol sistem. Dalam sistem yang kompleks,
sejumlah putaran timbal balik menghubungkan semua bagian. Putaran timbal
balik ini disebut network (jaringan). Konsekuensi logisnya,
ada hubungan positif dan negatif. Dalam hubungan positif,
variabel-variabel meningkat dan menurun secara bersamaan.
Sedang
dalam hubungan negatif, variabel-variabel berbanding terbalik, sehingga
jika satu meningkat, lainnnya akan menurun. Ide-ide pokok teori sistem,
sungguh sangat berkaitan dan konsisten. Semuanya memiliki pengaruh
utama pada banyak hal, termasuk komunikasi. Luasnya penerapan sistem
dalam lingkungan nyata, fisik, dan sosial sehingga tradisi sibernetika
tidaklah monolitik. Inilah yang kemudian membuat perbedaan di antara 4
variasi teori sistem, yaitu: teori sistem dasar (basic system theory), sibernetika (cybernetics), teori sistem umum (general system theory) dan sibernetika tingkat kedua (second order cybernetics).
Teori
sistem dasar, menggambarkan sistem-sistem sebagai bentuk-bentuk nyata
yang dapat dianalisis dan diobservasi dari luar. Kita dapat melihat
bagian-bagian dari sistem dan bagaimana semuanya berinteraksi. Kita
dapat mengobservasi dan dengan objektif mengukur kekuatan-kekuatan di
antara semua bagian dari sistem dan Anda dapat mendeteksi input dan output sebuah sistem. Jelasnya, kita dapat mengoperasikan atau memanipulasi sistem dengan mengubah input sistem tersebut dan mengerjakannya dengan sembarangan dengan mekanisme pemrosesannya.
Sibernetika
sebagai wilayah kajian, merupakan cabang dari teori sistem yang
memfokuskan diri pada putaran timbal balik dan proses-proses kontrol.
Konsep ini mengarahkan pada pertanyaan bagaimana sesuatu saling
memengaruhi satu sama lainnya dalam cara yang tidak berujung, bagaimana
sistem mempertahankan kontrol, bagaimana mendapatkan keseimbangan, serta
bagaimana putaran timbal-balik dapat mempertahankan keseimbangan dan
membuat perubahan. Keunggulan teori tradisi sibernetika sangat cocok
untuk memahami sebuah hubungan, namun kurang efektif dalam memahami
perbedaan-perbedaan individu di antara bagian sistem.
Keempat, Tradisi Sosiopsikologis
Kajian individu sebagai makhluk sosial merupakan tujuan dari tradisi sosiopsikologis (sociopsychological).
Teori tradisi sosiopsikologis memiliki fokus kajian pada perilaku
sosial individu, variabel psikologis, efek individu, kepribadian dan
sifat, persepsi serta kognisis. Pendekatan individualis menjadi cirikhas
tradisi sosiopsikologis, merupakan hal umum dalam pembahasan komunikasi
serta lebih luas dalam ilmu pengetahuan sosial dan perilaku.
Hal
ini dapat dipahami dalam lingkungan budaya kita. Dewasa ini mayoritas
teori komunikasi sosiopsikologis lebih berorientasi pada sisi kognitif,
yakni memberikan pemahaman bagaimana manusia memproses informasi. Dalam
area ini, tradisi sibernetika dan tradisi sosiopsikologis bersama-sama
menjelaskan sistem pemrosesan informasi individu manusia. Input (informasi) merupakan bagian dari perhatian khusus, sedangkan output (rencana dan perilaku) merupakan bagian dari sistem kognitif.
Pertanyaan-pertanyaan
penting dalam penelitian area ini, termasuk bagaimana persepsi
dipresentasikan secara kognitif, serta bagaimana representasinya
diproses melalui mekanisme yang memberikan perhatian, ingatan, campur
tangan, seleksi, motivasi, perencanaan dan pengorganisasian. Beberapa
tema besar yang berbeda dalam tradisi sosiopsikologis adalah, bagaimana
perilaku komunikasi individu dapat diprediksi, bagaimana individu
diperhitungkan dan mengakomodasi situasi-situasi komunikasi yang
berbeda, bagaimana perilaku komunikasi mengadaptasi perilaku mereka,
bagaimana informasi diasimilasi, diatur serta digunakan dalam menyusun
rencana-rencana dan strategi pesan, dengan logika apa manusia membuat
keputusan tentang bentuk pesan yang hendak digunakan, bagaimana pesan
direpresentasikan dalam pikiran, bagaimana manusia menghubungkan
penyebab-penyebab perilaku, bagaimana informasi diintegrasikan untuk
membentuk sikap dan kepercayaan, bagaimana sikap berubah, bagaimana
pesan-pesan diasimilasi dalam bentuk kepercayaan/sikap sistem, bagaimana
ekspektasi dibentuk dalam interaksi dengan orang lain dan apa yang
terjadi ketika ekspektasi tak tercapai.
Dalam
tradisi sosiopsikologis dapat dikelompokkan menjadi 3 cabang besar,
yakni: perilaku, kognitif dan biologis. Dalam perspektif perilaku,
teori-teori berkonsentrasi pada bagaimana manusia berperilaku dalam
situasi-situasi komunikasi. Teori tersebut melihat hubungan antara
perilaku komunikasi, apa yang Anda katakan dan lakukan, dalam kaitannya
dengan beberapa variabel seperti sifat pribadi, perbedaan situasi dan
pembelajaran. Sampai tahun 60-an, penekanan dalam psikologi adalah
bagaimana kita mempelajari perilaku dengan menghubungkan antara stimulus
dan respons. Ketika perilaku dihargai, perilaku itu akan terus diulang
(pembelajaran). Sebaliknya, ketika respons diberi hukuman, perilaku
tersebut akan berhenti (unlearned).
Pendekatan
kedua, teori kognitif yang cukup banyak digandrungi saat ini. Berpusat
pada bentuk pemikiran, cabang ini berkonsentrasi pada bagaimana individu
memperoleh, menyimpan dan memproses informasi dalam cara yang
mengarahkan output perilaku. Dengan kata lain, apa yang Anda
lakukan dalam situasi komunikasi bergantung tidak hanya pada bentuk
stimulus-respons, melainkan pada operasi mental yang digunakan untuk
mengelola informasi. Sedangkan variasi umum ketiga adalah dari sudut
pandang biologis. Karena kajian genetik diasumsikan menjadi semakin
penting, para ahli psikologi dan ahli teori perilaku pun tertarik dalam
efek-efek fungsi dan struktur otak, neurochemestry dan faktor genetik dalam menjelaskan perilaku manusia.
Tradisi
sosiopsikologis dan sosiokultural berkenaan dengan individu dalam
interaksinya dengan yang lain. Tradisi sosiopsikologis mengedepankan
individu, sedangkan sosiokultural menekankan persamaan dalam interaksi
sosial.
Kelima, Tradisi Sosiokultural
Pendekatan
sosikultural terhadap teori komunikasi menunjukkan cara pemahaman kita
terhadap makna, norma, peran dan peraturan yang dijalankan secara
interaktif dalam komunikasi. Teori ini mengeksplorasi dunia interaksi
yang dihuni manusia, menjelaskan bahwa realitas bukanlah seperangkat
susunan di luar kita, tetapi dibentuk melalui proses interaksi dalam
kelompok, komunitas dan budaya.
Gagasan
utama dari tradisi sosikultural memfokuskan diri pada bentuk-bentuk
interaksi antarmanusia daripada karakteristik individu atau model
mental. Interaksi merupakan proses dan tempat makna, peran, peraturan
serta nilai budaya yang dijalankan. Meskipun individu memproses
informasi secara kognitif, tradisi ini kurang tertarik pada komunikasi
pada komunikasi tingkat individu. Para peneliti sosiokultural cenderung
menganut ide bahwa realitas itu dibentuk oleh bahasa, sehingga apapun
yang ditemukan harus benar-benar dipengaruhi oleh bentuk-bentuk
interaksi prosedur penelitian itu sendiri.
Dalam
pendekatan sosiokultural, pengetahuan benar-benar dapat diinterpretasi
dan dibentuk. Banyak teori sosiokultural juga memfokuskan pada bagaimana
identitas-identitas dibangun melalui interaksi dalam kelompok sosial
dan budaya. Identitas menjadi dorongan bagi setiap individu dalam
peranan sosial, sebagai anggota komunitas, dan sebagai makhluk
berbudaya. Budaya juga bagian penting atas apa yang dibuat dalam
interaksi sosial.
Pada
gilirannya, budaya membentuk konteks bagi tindakan dan interpretasi.
Konteks, secara eksplisit diidentifikasikan dalam tradisi ini karena
penting bagi bentuk-bentuk komunikasi dan makna yang ada. Karena
pentingnya budaya dan konteks inilah, karya sosiokultural bersifat
holistik, meskipun tidak selalu demikian. Para peneliti dalam tradisi
ini dapat memfokuskan diri pada aspek kecil keseluruhan situasi dalam
kajian tertentu, tapi mereka sangat menyadari pentingnya keseluruhan
situasi atas apa yang terjadi pada interaksi dalam level mikro.
Tradisi sosiokultural memiliki sejumlah sudut pandang yang berpengaruh antara lain: paham interaksi simbolis (symbolic interactionism), konstruksionisme (constructionism),
sosiolinguistik, filosofi bahasa, etnografi, dan etnometodologi. Paham
interaksi simbolis berasal dari kajian sosiologi melalui penelitian
Herbert Blumer dan George Herbert Mead yang menekankan pentingnya
observasi partisipan dalam kajian komunikasi sebagai cara dalam
mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial. Ide terpokok dari paham
interaksi simbolik telah diadopsi dan dielaborasi oleh banyak pakar
sosial serta sekarang dimasukkan dalam kajian kelompok, emosi, diri,
politik dan struktur sosial.
Sedangkan dalam paham konstruktivisme sosial atau yang dikenal juga sebagai the social construction reality,
di mana sudut pandang ini telah melakukan penyelidikan tentang
bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi sosial.
Identitas benda dihasilkan dari bagaimana kita berbicara tentang objek,
bahasa yang digunakan untuk menangkap konsep kita dan cara-cara kelompok
sosial menyesuaikan diri pada pengalaman umum mereka. Karena itu, alam
dinilai kurang penting dibandingkan bahasa yang digunakan untuk memberi
nama, membahas dan mendekati dunia.
Dan
paham ketiga yakni sosiolinguistik (kajian bahasa dan budaya), di mana
hal terpokok dalam tradisi ini bahwa manusia menggunakan bahasa secara
berbeda-beda dalam kelompok budaya dan kelompok sosial yang berbeda.
Bukan hanya netral untuk menghubungkan manusia, bahasa juga masuk dalam
bentuk yang menentukan jati diri seseorang sebagai makhluk sosial dan
berbudaya. Ludwig Wittgenstein (filsuf Australia) mencetuskan pandangan
ini, dan menyimpulkan bahwa makna bahasa bergantung pada penggunaan
nyatanya.
Sudut
pandang lain dalam pendekatan sosiokultural adalah etnografi (observasi
tentang bagaimana kelompok sosial membangun makna melalui perilaku
linguistik dan non linguistik). Etnografi melihat bentuk-bentuk
komunikasi yang digunakan dalam kelompok sosial tertentu, kata-kata yang
digunakan, dan apa maknanya bagi mereka, sebagaimana makna-makna bagi
keragaman perilaku, visual dan respons audio.
Dan
terakhir, paham etnometodologi atau observasi yang cermat akan
perilaku-perilaku kecil dalam situasi-situasi nyata. Etnometodologi
dihubungkan dengan ahli sosisologi Harold Grafinkel, di mana pendekatan
ini melihat bagaimana seseorang mengelola atau menghubungkan perilaku
dalam interaksi sosial pada waktu tertentu.
Keenam, Tradisi Kritik
Tradisi
kritik menyangkut bagaimana kekuatan dan tekanan serta keistimewaan
sebagai hasil dari bentuk-bentuk komunikasi tertentu dalam masyarakat.
Tradisi kkritik berlawanan dengan banyak asumsi dasar tradisi lainnya.
Sebab sangat dipengaruhi oleh karya-karya di Eropa, feminisme Amerika
dan kajian-kajian postmodernisme dan postkolonialisme.
Tradisi kritik memiliki 3 keunggulan atau keistimewaan pokok, yaitu:
Pertama,
tradisi kritik mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar,
struktur kekuatan dan keyakinan atau ideologi, yang mendominasi
masyarakat dengan pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh
struktur-struktur kekuatan tersebut. Pertanyaan seperti siapa yang boleh
dan yang tidak boleh berbicara, apa yang boleh dan tidak boleh
dikatakan, siapa yang mengambil keuntungan dari sistem-sistem
tertentu,menjadi hal biasa yang ditanyakan oleh para ahli teori kritik.
Kedua,
para ahli teori kritik umumnya tertarik membuka kondisi-kondisi sosial
yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan emansipasi atau
masyarakat yang lebih bebas dan lebih berkecukupan. Memahami penindasan
dalam menghapus ilusi-ilusi ideologi dan bertindak mengatasi
kekuatan-kekuatan yang menindas.
Ketiga,
teori kritik menciptakan kesadaran untuk menggabungkan teori dan
tindakan. Teori-teori tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk
mendapatkan atau mencapai perubahan dalam kondisi-kondisi yang
memengaruhi masyarakat. Wajarlah, teori kritik kerap kali menggabungkan
diri dengan minat-minat dari kelompok yang terpinggirkan.
Adapun
cabang dari tradisi kritik adalah marxisme, Frankfurt School of
Critical Theeory, post modernisme, kajian budaya, post strukturalisme,
post kolonialisme dan kajian feminisme.
Marxisme,
tokohnya Marx mengajarkan bahwa cara-cara produksi dalam masyarakat
menentukan sifat dari masyarakat, sehingga menyebabkan ekonomi menjadi
dasar dari semua struktur sosial. Saat ini teori kritik ini dinamakan
neo marxis atau marxis. Berbeda dengan teori materialis marxisme
sederhana, kebanyakan teori-teori kritik kontemporer melihat
proses-proses sosial sebagai overdetermined atau diakibatkan
oleh sumber-sumber yang banyak. Mereka melihat struktur sosial sebagai
sistem yang di dalamnya terdapat banyak faktor yang berinteraksi dan
memengaruhi satu sama lain.
Minat
dalam bahasa menjadi penting bagi para ahli teori kritik. Dalam
marxisme, praktik-praktik komunikasi dilihat sebagai hasil dari tekanan
antara kreativitas individu dan desakan sosial pada kreativitas itu.
Frankfurt
School, mengacu pada kelompok filsuf Jerman, sosilog dan ekonom Max
Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse. Teori tersebut
menyatakan, demi kebutuhan akan integrasi di antara kajian filosofi,
ekonomi, sosiologi dan sejarah; untuk mempromosikan filosofi sosiologi
yang luas atau teori kritik yang mampu menawarkan pengujian yang
komprehensif akan kontradiksi dan interkoneksi dalam masyarakat. Seiring
kemunculan Partai Sosialis Nasional (NAZI), di Jerman pada tahun 30-an,
banyak akademisi Frankfurt berimigrasi ke Amerika dan membangun
institusi penelitian sosial di Universitas Colombia. Sedangkan di
Amerika, mereka sangat tertarik dengan komunikasi massa dan media
sebagai struktur penekan dalam masyarakat kapitalis. Akademisi Frankfurt
kontemporer yang paling terkenal adalah Jurgen Habermas, teorinya
meneruskan penilaian terhadap alasan dan memintaa untuk mengembalikan
ide-ide rasional dari periode pencerahan (modern).
Post
modernisme, ditandai oleh perpecahan antara modernitas dan proyek
pencerahan. Tahun 70-an, postmodernisme menolak elitisme, puritanisme
dan sterilitas rasional karena pluralisme, relativitas, kebaruan (novelty), kompleksitas dan kontradiksi.
Kajian budaya (cultural studies),
dihubungkan dengan ragam post modernisme dalam tradisi kritik. Para
ahli kajian budaya, sama-sama membahas ideologi yang mendominasi sebuah
budaya, tapi memfokuskan pada perubahan sosial dari hal yang
menguntungkan dalam budaya itu sendiri, untuk mempermudah pergerakan
budaya seperti yang telah diperlihatkan dalam kehidupan sosial, hubungan
kelompok dan kelas, institusi dan politik, serta ide dan nilai.
Nilai-nilai kajian budaya yang umum dan dipinggirkan menjadi pendorong
utama di balik minat ilmiah yang berkelanjutan pada permasalahan
tersebut.
Post
strukturalisme, merupakan bagian dari proyek postmodern karena post
strukturalisme mengolah usaha modern dalam menemukan kebenaran-kebenaran
universal, naratif, metode dan makna yang digunakan untuk mengenal
dunia. Jaques Derrida (1966) menuliskan, inti post strukturalisme adalah
penolakan akan universalisasi makna yang ditentukan oleh
desakan-desakan struktural, kondisi-kondisi dan simbol yang tetap.
Malahan para ahli menghubungkan pendekatan historis dan sosial terhadap
sifat dunia serta manusia yang masing-masing maknanya ditentukan dalam
produksi dinamis dan mencair serta pengaruh spesifik dari simbol-simbol
untuk momen sejarah.
Teori
post kolonialisme, mengaju pada kajian semua kebudayaan dipengaruhi
oleh proses kekaisaran dari era kolonialisme sampai hari ini. Inti teori
ini adalah gagasan yang dikemukkan oleh Edward Said, bahwa proses
penjajahan menciptakan “kebedaaan” yang bertanggung jawab bagi gambaran
yang distereotipkan pada populasi bukan kulit putih. Teori Said
merupakan proyek kritik dan post modern yang bukan hanya menggambarkan
proses kolonialisasi dan keberadaannya untuk mengintervensi “emancipatory political stance“.
Post
kolonial juga merupakan proyek post modern dalam mempertanyakan bahwa
hubungan histori, nasional dan geografis serta penghapusan dibuat
eksplisit dalam wacana. Lantas, pakar post kolonial mengkaji isu-isu
yang sama sebagaimana yang dikaji oleh kajian budaya dan kritik: ras,
kelas, gender, seksualitas, tapi semuanya disituasikan dalam susunan
geopolitik dan hubungan negara-negara serta sejarah antarnegara mereka.
Kajian
feminis, didefinisikan secara beragam mulai dari pergerakan untuk
menyelamatkan hak-hak wanita sampai semua bentuk usaha penekanan. Para
ahli feminisme memulainya dengan fokus pada gender dan mencari perbedaan
antara seks, sebuah kategori biologis dan gender, sebuah konstruksi
sosial. Feminis berusaha menawarkan teori-teori yang memusatkan pada
pengalaman wanita dan untuk membicarakan hubungan antara
kategori-kategori gender dan sosial lainnya, termasuk ras, etnik, kelas
dan seksualitas.
Hal
yang paling terkini, kajian tentang bagaimana praktik komunikasi
berfungsi menyebarkan ideologi-ideologi gender yang dimediasi wacana
menjadi mengemuka dan metrefleksikan variabilitas kajian budaya dalam
ilmu komunikasi.
Ketujuh, Tradisi Retorika
Awalnya
retorika berhubungan dengan persuasi, sehingga dimakanai sebagai seni
penyusunan argumen dan pembuatan naskah pidato. Lantas berkembang
meliputi proses “adjusting ideas to people and people to ideas”
dalam segala jenis pesan. Fokus dari retorika telah diperluas bahkan
lebih mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk
memengaruhi lingkungan di sekitarnya dan untuk membangun dunia tempat
mereka tinggal.
Pusat
dari tradisi retorika adalah 5 karya agung retorika yakni: penemuan,
penyusunan, gaya, penyampaian dan daya ingat. Semuanya adalah
elemen-elemen dalam mempersiapkan sebuah pidato, sedangkan pidato orang
Yunani dan Roma kuno berhubungan dengan ide-ide penemuan, pengaturan
ide, memilih bagaimana membingkai ide-ide tersebut dengan bahasa serta
akhirnya penyampaian isu dan daya ingat. Penemuan, mengacu pada
konseptualisasi yakni proses menentukan makna dari simbol melalui
interpretasi, respons terhadap fakta yang tidak mudah ditemukan pada apa
ayang telah ada, tetapi menciptakannya melalui penafsiran dari
kategori-kategori yang digunakan.
Penyusunan,
adalah pengaturan simbol-simbol, menyusun informasi dalam hubungannya
di antara orang-orang, simbol-simbol dan konteks yang terkait. Gaya,
berhubungan dengan semua anggapan yang terkait dalam penyajian dari
semua simbol tersebut, mulai dari memilih sistem simbol sampai makna
yang diberikan pada semua simbol tersebut, sebagaimana dengan semua
sifat dari simbol, mulai dari kata-kata dan tindakan sampai pada busana
dan perabotan. Penyampaian, menjadi peerwujudan dari simbol-simbol dalam
bentuk fisik, mencakup pilihan nonverbal untuk berbicara, menulis dan
memediasikan pesan. Dan daya ingat, tidak lagi mengacu pada penghafalan
pidato, tetapi cakupan yang lebih besar dalam mengingat budaya
sebagaimana dengan proses persepsi yang berpengaruh pada bagaimana kita
menyimpan dan mengolah informasi.
Periodesasi
pemaknaan retorika meliputi: tradisi retorika klasik, pertengahan,
Renaissance, Pencerahan, Kontemporer dan Postmodern. Di zaman klasik
(Abad V s/d Abad I SM), didominasi usaha-usaha untuk mendefinisikan dan
menyusun peraturan dari seni retorika. Para guru pengembara (sophist)
mengajarkan seni berdebat di kedua sisi pada sebuah kasus, instruksi
retorika paling awal di Yunani. Plato tidak sepakat terhadap pendekatan
relativistik sophist terhadap pengetahuan yang menyakini adanya
kebenaran absolut. Aristoteles, murid Plato mengambil pendekatan yang
lebih pragmatis terhadap seni, sehingga kita mengenal Rhetorika.
Zaman
Pertengahan (400-1400 M), memandang kajian retorika yang berfokus pada
permasalahan penyusunan dan gaya. Retorika pada babak ini, tela
merendahkan praktik dan seni pagan, serta berlawanan dengan Kristen yang
memandang kebenaran sebagai keyakinan. Orientasi pragmatis terhadap
retorika pertengahan juga bukti lain kegunaan dari retorika Zaman
Pertengahan, untuk penulisan surat.
Renaissance
(1300-1600 M), memandang sebuah kelahiran kembali dari retorika sebagai
filosofi seni. Para penganut humanisme yang tertarik dan berhubungan
dengan semua aspek dari manusia, biasa menemukan kembali teks retorika
klasik dalam sebuah usaha untuk mengenal dunia manusia. Rasionalisme
menjadi tren di era Reenaissance.
Fokus pada rasional selama Zaman Pencerahan berarti retorika dibatasi karena gayanya, memunculkan pergerakan belles lettres (surat-surat indah atau menarik). Belles lettres
mengacu pada karya sastra dan semua karya seni murni: retorika, puisi,
drama, musik dan bahkan berkebun, dan semuanya dapat diuji menurut
kriteria estetika yang sama.
Zaman
Pencerahan (1600-1800 M), para pemikir seperti Rene Decartes, mencoba
untuk menentukan apa yang dapat diketahui secara absolut dan objektif
oleh pikiran manusia. Idem juga, Francis Bacon, mencari persepsi
petunjuk dengan penelitian empiris, berpendapat bahwa kewajiban retorika
adalah untuk lebih baik mengaplikasikan alasan dengan imajinasi supaya
sesuai dengan keinginan.
Retorika
Kontemporer (Abad XX), menunjukkan sebuah kenaikan pertumbuhan dalam
retorika ketika jumlah, jenis dan pengaruh simbol-simbol meningkat.
Ketika sebuah abad dimulai dengan sebuah penekanan pada nilai berbicara
di muka umum bagi masyarakat yang ideal, penemuan media massa
menghadirkan fokus baru dalam visual dan verbal.
Retorika
bergeser fokusnya dari pidato ke semua jenis penggunaan simbol. Hal
paling penting, periode kontemporer telah kembali pada pemahaman
mengenai retorika sebagai epistemika, sebagai sebuah cara untuk
mengetahui dunia, bukan hanya sebuah cara untuk menyampaikan sesuatu
tentang dunia. Mayoritas ahli teori retorika meyakini bahwa manusia
menciptakan dunia-dunia mereka melalui simbol-simbol, bahwa dunia yang
kita kenal merupakan salah satu yang ditawarkan kepada kita oleh bahasa
kita.
Retorika
Postmodernisme, akhir Abad XX dan awal Abad XXI menjadi jembatan antara
retorika dengan postmodernisme, terutama pada apresiasi postmodern dan
penilaian pendirian yang berbeda. Contoh: ahli-ahli teori retorika
postmodern mengistimewakan pendirian akan ras, kelas, gender, dan
seksualitas ketika mereka masuk dalam pengalaman kehidupan khusus
seseorang daripada mencari teori-teori yang luas dan
penjelasan-penjelasan mengenai retorika.
Penganut paham feminis dan praktik-praktik retorika gender acap kali masuk dalam bidang postmodern, sama seperti teori ganjil (queer),
pada kondisi para akademisi retorika menguji fitur-fitur yang berbeda
dari penyampaian keganjilan publik dan bentuk-bentuk retorika lain untuk
memahami perbedaan-perbedaan yang ditawarkan oleh queer rethor. (*)
Sumber
referensi: Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi
(edisi 9), Penerbit Salemba Humanika, Jakarta Selatan, 2011, halaman
51-91
0 comments:
Post a Comment