• LinkedIn
  • Join Us on Google Plus!
  • Subcribe to Our RSS Feed

Friday, September 13, 2013

TENTANG WARTAWAN DI INDONESIA

7:55 AM // by Ahmad Albastin // No comments

Selama Kita bisa lihat di siaran TV banyak sekali kejadian-kejadian kekerasan terhadap wartawan, baik yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung.
"Selain itu penegakan hukum harus transparan agar warga atau masyarakat dapat mengetahui akibat dari menghalangi wartawan melakukan tugasnya," jelasnya.
Menurut dia, yang dirugikan dalam kasus kekerasan terhadap insan pers yang sedang melaksanakan tugasnya tidak hanya dirasakan oleh jurnalis yang menjadi korban.
Kekerasan itu telah merugikan warga karena kehilangan kesempatan mendapatkan informasi yang utuh.
Aryo menjelaskan, dalam melaksanakan tugasnya, seorang jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Pers. Untuk itu, tindakan menghalangi tugas peliputan melanggar hukum yang harus diproses secara hukum.
"Masuknya bukan delik aduan, jadi walaupun ada damai antara kedua pihak kasusnya tetap berjalan," tambahnya.  Terkait dengan kasus penganiayaan terhadap sejumlah jurnalis yang meliput kebakaran di daerah Pendongkelan, Pulo Gadung, Jakarta Timur, pihaknya mendesak agar pihak kepolisian mengusut secara tuntas.
Dikatakan, pihaknya siap mendampingi para wartawan itu dalam menjalani proses hukum. "Jika perlu pendampingan kami siap melalui LBH Pers Aji Jakarta," tambahnya.

Selain itu.


1. Lemahnya Regulasi 
Kekerasan terhadap jurnalis pada dasarnya adalah ancaman terhadap demokrasi. Jurnalis maupun
perusahaan pers yang merasa terancam dan terintimidasi karena tindakan kekerasan berpotensikehilangan kebebebasan dalam menyampaikan informasi yang patut diketahui publik. Manakala perstak lagi bebas, sesungguhnya pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat, karena informasi yangseharusnya diterima untuk kemudian dijadikan bahan untuk mengambil sikap politik sebagai warganegara tak lagi dapat dinikmati.Perlindungan terhadap wartawan bukannya tidak disadari oleh pembentuk Undang-undang Nomor40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Pasal 8 UU Pers secara eksplisit menyatakan, bahwa dalammenjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum. Namun begitu perlindunganhukum yang dimaksud tak begitu jelas dan tegas. Kalaupun ada, maka perlindungan yang ada lebihkepada perlindungan represif, bersaranakan hukum pidana yang baru dapat diterapkan manakalasuatu peristiwa kekerasan telah terjadi. Namun, tidak ada produk hukum yang secara adekwat danspesifik memfasilitasi jaminan keselamatan terhadap wartawan dalam maknanya yang preventif, yangmencegah maupun meminimalisir terjadinya kekerasan atau dampak kekerasan.Ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan wartawan memang dijumpai dalam Peraturan DewanPers tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan .Dalam Peraturan tersebut dinyatakan antaralain bahwa wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan, penyitaan, dan atau perampasan alatalat kerja serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun. Lebih lanjut peraturantersebut juga menyatakan bahwa wartawan yang ditugasi di wilayah berbahaya dan atau wilayah konflikharus dibekali surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, dan asuransi, sertapengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan penugasannya.Dua contoh klausul dari total 9 butir perlindungan terhadap wartawan dalam peraturan dewan perssebagaimana dipaparkan di atas tentunya amat baik, dan diharapkan bisa meminimalisir terjadinyakekerasan terhadap wartawan. Namun begitu tidak ada ketentuan hukum yang memberi sanksi tegaslagi menjerakan bagi sesiapapun termasuk perusahaan pers yang tidak melaksanakan ketentuantersebut. Padahal misalnya, pemberian bekal keterampilan, alat keselamatan, training dalamlevel tertentu sebagaimana dinyatakan dalam butir ke-6 lampiran peraturan dewan pers tersebutbegitu penting untuk dipunyai seorang jurnalis, karena dapat menghindarkan-minimal mengurangi-kemungkinan kekerasan terhadap wartawan. Di sisi lain ketentuan ini secara Nature akan dihindarioleh perusahaan karena pelaksanaan ketentuan ini mengandung konsekwensi pengeluaran dana olehperusahaan pers.Memanglah benar, bahwa sesuai dengan Piagam Palembang,peraturan Dewan Pers mengenai standarperlindungan profesi wartawan ini (bersama dengan peraturan Dewan Pers yang lain) telah disepakatioleh perusahaan pers untuk menjadi bagian dari kebijakan perusahaan pers. Namun sekali lagi, karenaformatnya hanya berupa peraturan, ketaatan terhadapnya hanya bergantung pada kemauan baik danmoralitas perusahaan saja yang terwujud dalam peraturan perusahaan, atau paling jauh dalam formatPerjanjian Kerja Bersama (PKB). Kesepakatan buruh visa vismajikan sebagaimana disebutkan terakhirini tentu tidak selalu menghasilkan keputusan yang menguntungkan wartawan (dan karyawan pers),karena sebagai sebuah perusahaan, perusahaan media tak terkecuali akan bertindak dengan logikaekonomi yakni untung-rugi.Tidak adanya ketentuan hukum yang tegas menjamin dipenuhinya perlindungan profesi wartawan initentu merupakan celah hukum yang berdampak negatif terhadap perlindungan wartawan. Padahalterpenuhinya standar perlindungan profesi wartawan memiliki implikasi yang amat signifikan bagiterlindunginya wartawan dari kekerasan (pula kecelakaan!). Menambahkan apa yang dinyatakanoleh Bagir Manan, tulisan ini meyakini bahwa bahwa tak saja dikarenakan rasa frustasi atas kondisi di sekitarnya maupun karena paradigma negara kekuasaan yang masih saja menjadi paradigma sebagianaparatur negara, kekerasan terhadap wartawan sangat boleh jadi timbul dikarenakan karena hukummemang tidak cukup melindungi profesi wartawan.

2. Perubahan UU Pers
Manakala ketentuan yang dakomodir dalam peraturan Dewan Pers ini telah cukup baik namun lemahdalam penegakannya, maka antitesis atas hal ini adalah membuat ketentuan di dalam peraturantersebut menjadi lebih efektif lagi implementatif. Salah satu cara adalah dengan memasukkanketentuan tersebut ke dalam perubahan UU Pers, sebuah proses yang dalam sudut pandang hukumketatanegaraan tak pelak akan melibatkan dua lembaga negara: Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.Jika aspirasi ini berhasil menjadi muatan perubahan UU Pers, maka perlindungan profesi wartawanakan lebih kokoh ditegakkan guna meminimalisir kekerasan dan kecelakaan yang menimpa wartawan.Serangkaian tindakan, pelatihan, dan pemberian fasilitas terhadap wartawan yang ditujukan untukmelindungi wartawan misalnya, nantinya tidak lagi digantungkan semata pada kebaikan hati maupunkesepakatan yang kerapkali bercorak ‘David dan Goliath’, akan tetapi lebih kepada topangan sanksi(pidana) oleh negara yang tak mengenakkan lagi menjerakan. Dukungan segenap insan jurnalistik dalammendorong ke arah proses perubahan UU Pers yang lebih fasilitatif terhadap jurnalis ini menjadi halyang harus ada, terlebih mengingat bahwa dalam perspektif hukum kritis, upaya ini sangat boleh jadiakan mengundang ‘perlawanan’ terutama dari para pemodal media.

3.Ketidakprofesionalan Sebagai Pemicu Kekerasan
Terlepas dari persoalan di atas, tulisan ini pula meyakini bahwa kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik selama ini. Masyarakatterprovokasi dengan kerja jurnalistik yang bombastik, tidak akurat, jauh dari realita, maupun terlalumencampuri privasi seseorang. Pernyataan Dewan Pers Nomor 06/P-DP/IV/2011 Tentang PenyelesaianMasalah antara Global TV dan Ahmad Dhani seolah mengafirmasi keterkaitan antara profesionalismewartawan dan kekerasan terhadap jurnalis. Terungkap dalam pernyataan tersebut bahwa kedua pihakmemiliki andil yang sama dalam terjadinya kekerasan terhadap wartawan Global. Secara spesifik, DewanPers menyoroti tidak ditaatinya kode etik jurnalistik oleh Global TV dalam pemberitaan mengenaiAhmad Dhani sebelumnya selain tindakan Ahmad Dhani yang dapat dikategorikan menghalang-halangikinerja wartawan dalam melakukan kerja jurnalistik.Adalah benar bahwa dalam hal terjadinya kekeliruan maupun kesalahan dalam pemberitaan, orangtidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri. Alih-alih demikian, mekanisme sebagaimanadikenal dalam dunia jurnalistik yang telah diakomodir dalam UU Pers berupa hak jawab dan hak koreksiharuslah ditempuh. Akan tetapi, dua mekanisme itu juga tak memiliki pembenarannya manakaladigunakan sebagai tameng dilakukannya kinerja jurnalistik yang serampangan. Hak jawab dan hakkoreksi berangkat dari asumsi dasar bahwa kinerja jurnalistik-betapapun hati-hatinya ia dilakukan-tetaplah memiliki kemungkinan terjadinya kesalahan. Namun, kesalahan dimaksud bukanlah sesuatuyang disengaja, apalagi dilakukan dengan sadar untuk mendayagunakan
 power atas informasi yangdimilikinya guna semata untuk mengejar keuntungam bisnis maupun untuk dipertukarkan dengan power lain berupa jabatan maupun uang.Kerja jurnalistik sesungguhnyalah resultante dari berbagai faktor yang teramat kompleks meliputikecakapan dan skill jurnalistik seorang wartawan, kondisi perusahaan yang menaunginya, pula regulasiyang mengaturnya. Seorang wartawan yang tak memiliki tak memiliki bekal pengetahuan jurnalistikyang memadai akan lebih mudah melakukan pelanggaran kode etik. Sementara itu, seorang wartawankendati memiliki pengetahuan jurnalistik namun bekerja dalam atmosfir perusahaan yang kapitalistik,mengejar pemberitaan tanpa mengindahkan etika jurnalistik, akan bekerja di luar koridor etika jurnalis yang pada akhirnya bermuara pada kekerasan wartawan.

4.Standar Kompetensi Wartawan
Jika perubahan UU Pers adalah jawaban yang bisa diberikan untuk mereduksi kekerasan terhadapwartawan sebagai akibat lemahnya regulasi, maka Standar Kompetensi Wartawan (SKW) menemukanrelevansinya untuk diterapkan guna meminimalisir kekerasan yang diakibatkan karena kurangnyakompetensi seorang wartawan. SKW yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 mengenai Standar Kompetensi Wartawan ini menjadi penting di tengah semakinmenjamurnya media seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan begitu mudahnya setiaporang untuk menyandang profesi wartawan.Publik memiliki hak untuk tahu ( right to know  ), dimana media berfungsi untuk memenuhi hak untuktahu ini. Namun demikian, publik juga berhak untuk mengetahui informasi yang seakurat dan sebenarmungkin. SKW, demikian peraturan dewan pers menyatakan, diperlukan untuk melindungi kepentinganpublik dan hak pribadi masyarakat. Namun tulisan ini pula meyakini bahwa SKW pula diperlukanoleh wartawan itu sendiri guna meminimalisir kesalahan maupun kerusakan yang tak perlu yangdiakibatkan oleh kerja jurnalistik. Dengan memenuhi kecakapan minimal sebagaimana telah dirumuskandari dalam insan pers sendiri, maka hasil kerja jurnalis yang memiliki dampak publik amat tinggi itudapat diandalkan kesahihan maupun keterandalannya. SKW memungkinkan seorang jurnalis memilikipengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang relevan dengan tugasnya sebagai jurnalis. Dalam konteksperlindungan terhadap profesi wartawan, kekerasan yang dipicu sebagai akibat tidak profesionalnyawartawan seperti ditunjukkan dalam kasus penganiayaan wartawan Global TV oleh pihak Ahmad Dhanibisa semaksimal mungkin dihindarkan.Lepas dari itu, Standar Perusahaan Pers juga perlu untuk diperhatikan dan diperlakukan samapentingnya manakala membincangkan kemerdekaan pers. Perusahaan pers yang tidak profesional, yangsemata mata memandang bisnis media sebagai business as usual , akan menghalalkan segala cara untukmenghasilkan berita, melakukan intimidasi terhadap karyawan dan wartawan untuk mendapatkanberita apapun caranya dengan tujuan mencari keuntungan. Di sisi lain jika standar kompetensiwartawan ini tidak memiliki impak signifikan terhadap kesejahteraan wartawan, betapapun cakapnyaseorang wartawan, sertifikasi hanyalah sertifikasi yang tak akan berbekas dalam karya jurnalistik yangdihasilkan.Lebih jauh, membincangkan ancaman terhadap kebebasan pers seharusnya tidak selalu dikonotasikandengan berbagai hal berbau kekerasan, intimidasi, maupun teror. Alih-alih selalu menggunakan
mindset  yang demikian, sesungguhnyalah kebebasan pers pula amat terancam dengan kooptasiwartawan (maupun media berita) dengan kekuatan uang dan kuasa politik. Alih-alih secara heroikmelakukan penentangan, protes, maupun aksi keprihatinan maupun solidaritas ketika terjadi kekerasan,terenggutnya kebebasan pers dengan cara ini justeru kerapkali disambut dengan suka cita dan samasekali tidak dirasa sebagai suatu ancaman. Dapat dikendalikannya muatan pemberitaan melalui iklanpolitik maupun pencitraan politik adalah contoh sederhana untuk menjelaskan ancaman kebebasan persyang ironisnya kerap kali justeru didamba oleh perusahaan media.

0 comments:

Post a Comment