Selama Kita bisa lihat di siaran TV banyak sekali kejadian-kejadian kekerasan terhadap wartawan, baik yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung.
"Selain itu penegakan hukum harus transparan agar warga atau masyarakat
dapat mengetahui akibat dari menghalangi wartawan melakukan tugasnya,"
jelasnya.
Menurut dia, yang dirugikan dalam kasus kekerasan terhadap insan pers yang
sedang melaksanakan tugasnya tidak hanya dirasakan oleh jurnalis yang menjadi
korban.
Kekerasan itu telah merugikan warga karena kehilangan kesempatan mendapatkan
informasi yang utuh.
Aryo menjelaskan, dalam melaksanakan tugasnya, seorang jurnalis dilindungi oleh
Undang-Undang Pers. Untuk itu, tindakan menghalangi tugas peliputan melanggar
hukum yang harus diproses secara hukum.
"Masuknya bukan delik aduan, jadi walaupun ada damai antara kedua pihak
kasusnya tetap berjalan," tambahnya.
Terkait dengan kasus penganiayaan terhadap sejumlah jurnalis yang
meliput kebakaran di daerah Pendongkelan, Pulo Gadung, Jakarta Timur, pihaknya
mendesak agar pihak kepolisian mengusut secara tuntas.
Dikatakan, pihaknya siap mendampingi para wartawan itu dalam menjalani proses
hukum. "Jika perlu pendampingan kami siap melalui LBH Pers Aji
Jakarta," tambahnya.
TENTANG WARTAWAN DI INDONESIA
Selain
itu.
1. Lemahnya Regulasi
Kekerasan terhadap jurnalis pada
dasarnya adalah ancaman terhadap demokrasi. Jurnalis maupun
perusahaan pers yang merasa terancam
dan terintimidasi karena tindakan kekerasan berpotensikehilangan kebebebasan
dalam menyampaikan informasi yang patut diketahui publik. Manakala perstak lagi
bebas, sesungguhnya pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat, karena
informasi yangseharusnya diterima untuk kemudian dijadikan bahan untuk
mengambil sikap politik sebagai warganegara tak lagi dapat
dinikmati.Perlindungan terhadap wartawan bukannya tidak disadari oleh pembentuk
Undang-undang Nomor40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Pasal 8 UU Pers secara
eksplisit menyatakan, bahwa dalammenjalankan tugasnya wartawan memperoleh
perlindungan hukum. Namun begitu perlindunganhukum yang dimaksud tak begitu
jelas dan tegas. Kalaupun ada, maka perlindungan yang ada lebihkepada
perlindungan represif, bersaranakan hukum pidana yang baru dapat diterapkan
manakalasuatu peristiwa kekerasan telah terjadi. Namun, tidak ada produk hukum
yang secara adekwat danspesifik memfasilitasi jaminan keselamatan terhadap
wartawan dalam maknanya yang preventif, yangmencegah maupun meminimalisir
terjadinya kekerasan atau dampak kekerasan.Ketentuan yang mengatur mengenai
perlindungan wartawan memang dijumpai dalam Peraturan DewanPers tentang Standar
Perlindungan Profesi Wartawan .Dalam Peraturan tersebut dinyatakan antaralain
bahwa wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan, penyitaan, dan atau
perampasan alatalat kerja serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh
pihak manapun. Lebih lanjut peraturantersebut juga menyatakan bahwa wartawan
yang ditugasi di wilayah berbahaya dan atau wilayah konflikharus dibekali surat
penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, dan asuransi,
sertapengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan
penugasannya.Dua contoh klausul dari total 9 butir perlindungan terhadap
wartawan dalam peraturan dewan perssebagaimana dipaparkan di atas tentunya amat
baik, dan diharapkan bisa meminimalisir terjadinyakekerasan terhadap wartawan.
Namun begitu tidak ada ketentuan hukum yang memberi sanksi tegaslagi menjerakan
bagi sesiapapun termasuk perusahaan pers yang tidak melaksanakan
ketentuantersebut. Padahal misalnya, pemberian bekal keterampilan, alat
keselamatan, training dalamlevel tertentu sebagaimana dinyatakan dalam butir
ke-6 lampiran peraturan dewan pers tersebutbegitu penting untuk dipunyai
seorang jurnalis, karena dapat menghindarkan-minimal mengurangi-kemungkinan
kekerasan terhadap wartawan. Di sisi lain ketentuan ini secara Nature akan
dihindarioleh perusahaan karena pelaksanaan ketentuan ini mengandung konsekwensi
pengeluaran dana olehperusahaan pers.Memanglah benar, bahwa sesuai dengan
Piagam Palembang,peraturan Dewan Pers mengenai standarperlindungan profesi
wartawan ini (bersama dengan peraturan Dewan Pers yang lain) telah
disepakatioleh perusahaan pers untuk menjadi bagian dari kebijakan perusahaan
pers. Namun sekali lagi, karenaformatnya hanya berupa peraturan, ketaatan
terhadapnya hanya bergantung pada kemauan baik danmoralitas perusahaan saja
yang terwujud dalam peraturan perusahaan, atau paling jauh dalam
formatPerjanjian Kerja Bersama (PKB). Kesepakatan buruh visa vismajikan
sebagaimana disebutkan terakhirini tentu tidak selalu menghasilkan keputusan
yang menguntungkan wartawan (dan karyawan pers),karena sebagai sebuah
perusahaan, perusahaan media tak terkecuali akan bertindak dengan logikaekonomi
yakni untung-rugi.Tidak adanya ketentuan hukum yang tegas menjamin dipenuhinya
perlindungan profesi wartawan initentu merupakan celah hukum yang berdampak
negatif terhadap perlindungan wartawan. Padahalterpenuhinya standar
perlindungan profesi wartawan memiliki implikasi yang amat signifikan
bagiterlindunginya wartawan dari kekerasan (pula kecelakaan!). Menambahkan apa
yang dinyatakanoleh Bagir Manan, tulisan ini meyakini bahwa bahwa tak saja
dikarenakan rasa frustasi atas kondisi di sekitarnya maupun karena paradigma
negara kekuasaan yang masih saja menjadi paradigma sebagianaparatur negara,
kekerasan terhadap wartawan sangat boleh jadi timbul dikarenakan karena
hukummemang tidak cukup melindungi profesi wartawan.
2. Perubahan UU Pers
Manakala ketentuan yang dakomodir
dalam peraturan Dewan Pers ini telah cukup baik namun lemahdalam penegakannya,
maka antitesis atas hal ini adalah membuat ketentuan di dalam peraturantersebut
menjadi lebih efektif lagi implementatif. Salah satu cara adalah dengan
memasukkanketentuan tersebut ke dalam perubahan UU Pers, sebuah proses yang
dalam sudut pandang hukumketatanegaraan tak pelak akan melibatkan dua lembaga
negara: Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.Jika aspirasi ini berhasil menjadi
muatan perubahan UU Pers, maka perlindungan profesi wartawanakan lebih kokoh
ditegakkan guna meminimalisir kekerasan dan kecelakaan yang menimpa
wartawan.Serangkaian tindakan, pelatihan, dan pemberian fasilitas terhadap
wartawan yang ditujukan untukmelindungi wartawan misalnya, nantinya tidak lagi
digantungkan semata pada kebaikan hati maupunkesepakatan yang kerapkali
bercorak ‘David dan Goliath’, akan tetapi lebih kepada topangan sanksi(pidana)
oleh negara yang tak mengenakkan lagi menjerakan. Dukungan segenap insan
jurnalistik dalammendorong ke arah proses perubahan UU Pers yang lebih
fasilitatif terhadap jurnalis ini menjadi halyang harus ada, terlebih mengingat
bahwa dalam perspektif hukum kritis, upaya ini sangat boleh jadiakan mengundang
‘perlawanan’ terutama dari para pemodal media.
3.Ketidakprofesionalan Sebagai
Pemicu Kekerasan
Terlepas dari persoalan di atas,
tulisan ini pula meyakini bahwa kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi
diakibatkan karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik
selama ini. Masyarakatterprovokasi dengan kerja jurnalistik yang bombastik,
tidak akurat, jauh dari realita, maupun terlalumencampuri privasi seseorang.
Pernyataan Dewan Pers Nomor 06/P-DP/IV/2011 Tentang PenyelesaianMasalah antara
Global TV dan Ahmad Dhani seolah mengafirmasi keterkaitan antara
profesionalismewartawan dan kekerasan terhadap jurnalis. Terungkap dalam
pernyataan tersebut bahwa kedua pihakmemiliki andil yang sama dalam terjadinya
kekerasan terhadap wartawan Global. Secara spesifik, DewanPers menyoroti tidak
ditaatinya kode etik jurnalistik oleh Global TV dalam pemberitaan mengenaiAhmad
Dhani sebelumnya selain tindakan Ahmad Dhani yang dapat dikategorikan
menghalang-halangikinerja wartawan dalam melakukan kerja jurnalistik.Adalah
benar bahwa dalam hal terjadinya kekeliruan maupun kesalahan dalam pemberitaan,
orangtidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri. Alih-alih demikian,
mekanisme sebagaimanadikenal dalam dunia jurnalistik yang telah diakomodir
dalam UU Pers berupa hak jawab dan hak koreksiharuslah ditempuh. Akan tetapi,
dua mekanisme itu juga tak memiliki pembenarannya manakaladigunakan sebagai
tameng dilakukannya kinerja jurnalistik yang serampangan. Hak jawab dan
hakkoreksi berangkat dari asumsi dasar bahwa kinerja jurnalistik-betapapun
hati-hatinya ia dilakukan-tetaplah memiliki kemungkinan terjadinya kesalahan.
Namun, kesalahan dimaksud bukanlah sesuatuyang disengaja, apalagi dilakukan
dengan sadar untuk mendayagunakan
power atas informasi
yangdimilikinya guna semata untuk mengejar keuntungam bisnis maupun untuk
dipertukarkan dengan power lain berupa jabatan maupun uang.Kerja
jurnalistik sesungguhnyalah resultante dari berbagai faktor yang teramat
kompleks meliputikecakapan dan skill jurnalistik seorang wartawan, kondisi
perusahaan yang menaunginya, pula regulasiyang mengaturnya. Seorang wartawan
yang tak memiliki tak memiliki bekal pengetahuan jurnalistikyang memadai akan
lebih mudah melakukan pelanggaran kode etik. Sementara itu, seorang
wartawankendati memiliki pengetahuan jurnalistik namun bekerja dalam atmosfir
perusahaan yang kapitalistik,mengejar pemberitaan tanpa mengindahkan etika
jurnalistik, akan bekerja di luar koridor etika jurnalis yang pada akhirnya
bermuara pada kekerasan wartawan.
4.Standar Kompetensi Wartawan
Jika perubahan UU Pers adalah
jawaban yang bisa diberikan untuk mereduksi kekerasan terhadapwartawan sebagai
akibat lemahnya regulasi, maka Standar Kompetensi Wartawan (SKW)
menemukanrelevansinya untuk diterapkan guna meminimalisir kekerasan yang
diakibatkan karena kurangnyakompetensi seorang wartawan. SKW yang tertuang
dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 mengenai Standar
Kompetensi Wartawan ini menjadi penting di tengah semakinmenjamurnya media
seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan begitu mudahnya setiaporang
untuk menyandang profesi wartawan.Publik memiliki hak untuk tahu ( right to
know ), dimana media berfungsi untuk memenuhi hak untuktahu ini. Namun
demikian, publik juga berhak untuk mengetahui informasi yang seakurat dan
sebenarmungkin. SKW, demikian peraturan dewan pers menyatakan, diperlukan untuk
melindungi kepentinganpublik dan hak pribadi masyarakat. Namun tulisan ini pula
meyakini bahwa SKW pula diperlukanoleh wartawan itu sendiri guna meminimalisir
kesalahan maupun kerusakan yang tak perlu yangdiakibatkan oleh kerja
jurnalistik. Dengan memenuhi kecakapan minimal sebagaimana telah dirumuskandari
dalam insan pers sendiri, maka hasil kerja jurnalis yang memiliki dampak publik
amat tinggi itudapat diandalkan kesahihan maupun keterandalannya. SKW
memungkinkan seorang jurnalis memilikipengetahuan, keterampilan, dan keahlian
yang relevan dengan tugasnya sebagai jurnalis. Dalam konteksperlindungan
terhadap profesi wartawan, kekerasan yang dipicu sebagai akibat tidak
profesionalnyawartawan seperti ditunjukkan dalam kasus penganiayaan wartawan
Global TV oleh pihak Ahmad Dhanibisa semaksimal mungkin dihindarkan.Lepas dari
itu, Standar Perusahaan Pers juga perlu untuk diperhatikan dan diperlakukan
samapentingnya manakala membincangkan kemerdekaan pers. Perusahaan pers yang
tidak profesional, yangsemata mata memandang bisnis media sebagai business as
usual , akan menghalalkan segala cara untukmenghasilkan berita, melakukan
intimidasi terhadap karyawan dan wartawan untuk mendapatkanberita apapun
caranya dengan tujuan mencari keuntungan. Di sisi lain jika standar
kompetensiwartawan ini tidak memiliki impak signifikan terhadap kesejahteraan
wartawan, betapapun cakapnyaseorang wartawan, sertifikasi hanyalah sertifikasi
yang tak akan berbekas dalam karya jurnalistik yangdihasilkan.Lebih jauh,
membincangkan ancaman terhadap kebebasan pers seharusnya tidak selalu
dikonotasikandengan berbagai hal berbau kekerasan, intimidasi, maupun teror.
Alih-alih selalu menggunakan
mindset yang demikian,
sesungguhnyalah kebebasan pers pula amat terancam dengan kooptasiwartawan (maupun
media berita) dengan kekuatan uang dan kuasa politik. Alih-alih secara
heroikmelakukan penentangan, protes, maupun aksi keprihatinan maupun
solidaritas ketika terjadi kekerasan,terenggutnya kebebasan pers dengan cara
ini justeru kerapkali disambut dengan suka cita dan samasekali tidak dirasa
sebagai suatu ancaman. Dapat dikendalikannya muatan pemberitaan melalui
iklanpolitik maupun pencitraan politik adalah contoh sederhana untuk
menjelaskan ancaman kebebasan persyang ironisnya kerap kali justeru didamba
oleh perusahaan media.
0 comments:
Post a Comment